Kolaborasi lintas genre antara Koil, Kuburan, dan Doel Sumbang menghadirkan warna baru dalam musik religi dengan lagu Tuturut Munding. Lagu berbahasa Sunda ini bukan sekadar suguhan musik, melainkan sebuah kritik sosial yang dibalut dengan nuansa humor dan raungan distorsi khas musik rock.
Dengan latar budaya Sunda yang kental, Tuturut Munding memiliki makna mendalam. Secara harfiah, frasa ini berarti “mengikuti kerbau”, menggambarkan orang-orang yang ikut-ikutan tanpa berpikir panjang. Namun, dalam lagu ini, maknanya berkembang menjadi sindiran terhadap kebiasaan buruk yang sering terjadi di bulan Ramadan—dari yang hanya ikut-ikutan sahur dan berbuka, hingga mereka yang mengabaikan ibadah dan justru larut dalam kebiasaan yang bertentangan dengan nilai-nilai puasa.
Doel Sumbang, sang pencipta lagu, menjelaskan bahwa Tuturut Munding adalah bentuk perlawanan terhadap fenomena sosial yang sudah mendarah daging. “Lagu ini berbicara tentang pembangkangan, bukan hanya secara individu, tapi sebagai kebiasaan yang dianggap biasa. Kita ingin mengingatkan, bahwa di bulan suci, ada kewajiban yang seharusnya dijalankan,” katanya.
Sementara itu, Koil dan Kuburan menambahkan elemen unik dalam lagu ini. Distorsi gitar khas Koil berpadu dengan karakter teatrikal ala Kuburan, menjadikan Tuturut Munding sebuah karya yang penuh kejutan. Dengan aransemen yang menggabungkan berbagai elemen musik, lagu ini menawarkan pengalaman mendengarkan yang segar dan berbeda.
Proses produksi video musiknya pun tidak kalah menarik. Bertempat di Sekeloa Selatan, Bandung, lebih dari 200 warga, mulai dari perwakilan RT, RW, hingga Camat, ikut berpartisipasi. Unsur budaya lokal semakin kental dengan kehadiran Ulin Barong, seni tari khas Sekeloa yang semakin memperkaya visual dalam video ini.
Lagu ini membuktikan bahwa musik religi tidak selalu harus terdengar syahdu atau melankolis. Dengan pendekatan yang berani dan penuh energi, Tuturut Munding hadir sebagai pengingat sekaligus hiburan bagi mereka yang menjalankan ibadah di bulan suci.
